Sabtu, 17 November 2012

Nyeri dada

NYERI DADA


Diagnosis banding
Nyeri dada pasca operasi relatif sering dijumpai. Terpisah dari pasien yang telah menjalani pembedahan toraks, sebab-sebab yang penting untuk dipikirkan adalah infark miokard, angina, emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, dan ruptur esofagus (pada mereka yang telah menjalani dilatasi esofagus atau muntah-muntah). 50% pasien yang diberikan suxamethonium mengalami nyeri pada dada, leher dan/atau bahu.
Seperti pada praktek penyakit dalam, penyakit esofagus jinak (refluks asam atau spasme) lazim dijumpai dan sering diprovokasi oleh pembedahan abdomen. Kadang-kadang kondisi ini sukar dibedakan dari nyeri kardiak jika berdasarkan anamnesis.
Sebab-sebab yang lebih jarang dari nyeri dada – diseksi aorta, perikarditis, dan nyeri alih (referred pain) dari tulang belakang jarang ditemukan dalam praktek bedah dan hanya membutuhkan sedikit bahasan.
· Infark miokard akut (AMI) : pikirkan diagnosis ini pada setiap pasien dengan nyeri dada/rasa kencang/tertindih di bagian tengah. Ini lebih cenderung terjadi dengan riwayat IHD terdahulu atau pada kelompok risiko tinggi: diabetes, hipertensi, penyakit pembuluh darah tepi, perokok berat. Pemicu khas adalah hipotensi, hipertensi, perdarahan mayor, hipoksia dan sepsis.
· Angina : ini biasanya jelas dari anamnesis. Pasien akan memerikan nyeri yang identik dengan angina yang biasa mereka keluhkan. Pemicu adalah sama seperti pada AMI. Perbedaan angina dari AMI adalah berdasarkan EKG dan enzim-enzim jantung.
· Emboli paru (PE =pulmonary emboli) menyebabkan nyeri dada di tengah dengan dispnea dan hipotensi. Emboli yang lebih kecil menyebabkan infark paru, yang ditandai oleh nyeri pleuritik dan hemoptisis tetapi dispnea lebih ringan dan TD masih terjaga.
· Pneumonia : pneumonia pasca bedah biasanya tidak menyebabkan gambaran pneumonia lobaris klasik ( nyeri dada pleuritik yang mendadak dengan dispnea dan demam). Biasanya ada dispnea dengan demam.
· Pneumotoraks : terjadi paling sering setelah kanulasi vena sentral atau trauma toraks. Pada situasi lain lebih cenderung pada orang muda yang tinggi, kurus, asmatis dan pasien dengan emfisema. Kadang-kadang terjadi setelah prosedur abdomen atau endoskopik toraks.
· Ruptur esofagus : komplikasi yang mengancam jiwa pada pasien yang baru saja menjalani instrumentasi esofagus, khususnya dilatasi dari suatu striktura, atau mereka yang sudah muntah-muntah hebat. Nyeri khas lebih buruk ketika menelan. Ruptur esofagus sering diikuti oleh udara yang teraba di leher atau mediastinum pada x-foto toraks.
· Esofagitis dan spasme esofagus: masalah-masalah ini lebih sering dijumpai pada pasca operasi pada pasien yang sudah ada riwayat penyakit ini. Penyakit baru lebih sukar didiagnosis dan mungkin IHD perlu disingkirkan terlebih dulu.
· Diseksi aorta: dapat terjadi kebetulan pada siatuasi perioperatif, mungkin dicetuskan oleh hipertensi berat. Ciri-cirinya dalah nyeri dada berat yang tidak mereda, menjalar ke punggung, tidak membaik dengan opioid, tanpa ada bukti infark miokard akut. Manajemennya berada di luar lingkup buku ini.
· Perikarditis : biasa dijumpai setelah kardiotomi. Namun biasanya jarang pada pasien bedah.

Prioritas dini
· Nilai dan kelola ABC.
· Berikan O2 pada kecepatan tinggi melalui masker wajah jika pasien tidak bernapas atau mengalami sesak hebat. Periksa saturasi O2 dengan pulse oximetry.
· Cek sirkulasi.
· Akses vena. Jika pasien hipotensi dan tidak ada tanda-tanda edema paru, berikan infus cepat (NaCl 0,9%, gelatin, starch) seperti disebut pada bab hipotensi. Periksa tanda-tanda perdarahan operasi.
· Cek masuknya udara pada kedua sisi: jika didiagnosis tension pneumohotrax, lakukan dekompresi sebagaimana diuraikan pada Bab 37.
· Sambungkan pasien ke monitor EKG.
· Minta EKG 12-sadapan. Jangan mengandalkan pada monitor untuk diagnosis akurat.
· Pesan X-foto toraks.
· Setelah manajemen awal, luangkan waktu untuk anamnesis dan periksa pasien dengan seksama.

Anamnesis
Mencakup riwayat penyakit dahulu dan faktor-faktor risiko. Jika ada distres, pasien mungkin tidak bisa memberikan riwayat yang koheren. Apakah pasien mengalami nyeri serupa sebelumnya, apakah diselidiki dan apa yang terjadi? Periksa informasi yang dicatat di bagian pendaftaran.
Biasanya nyeri kardiak bisa dibedakan dari nyeri pleuritik dan esofagus berdasarkan gambaran klinik. Walaupun demikian, setelah operasi banyak pasien memperlihatkan gejala tidak khas dan penyelidikan lanjut sering diperlukan. Tanyakan secara spesifik gejala-gejala penyerta (dispnea, hemoptisis, muntah-muntah), faktor-faktor eksaserbasi dan pereda. Urutan kejadian yang tepat yang memicu nyeri dada bisa didapat dari perawat atau dari penelusuran kartu observasi.

Pemeriksaan fisik
Nilai sirkulasi (nadi, TD, pefusi tepi, JVP), cak bising jantung baru (khas pada infark miokard yang mempengaruhi katup mitral), dan cari tanda-tanda fisik dalam dada. X-foto toraks akan membantu menegakkan diagnosis pada banyak pasien. Walaupun demikian, foto toraks pasca operasi sering abnormal, sehingga bisa mengacaukan gambaran klinik.

Pemeriksaan penunjang
· EKG 12-sadapan: diagnostik untuk AMI pada 50% kasus pada onset. Bisa normal pada angina jika nyeri telah mereda. EKG normal selama nyeri dada hebat membantah adanya angina. Depresi ST mencolok selama angina mengindikasikan AMI yang mungkin mengancam. Aritmia dapat mencetuskan angina.
· Gas darah arteri: kombinasi nyeri dada sentral, x-foto toraks bersih, dan hipoksia akut lebih diagnostik untuk emboli paru pada pasien pasca bedah.
· X-foto toraks membantu diagnosis ruptur esofagus, pneumonia, pneumotoraks. Edema paru yang mungkin tidak terbukti secara klinik mungkin terlihat dengan x-foto toraks.
· Hb : perdarahan/hemodilusi bisa merupakan pemicu untuk angina atau MI.
· Uji saring lengkap untuk sepsis jika pireksia. Sepsis pada setiap tempat dapat mencetuskan angina atau MI pada pasien dengan IHD yang melandasi.
· Pengukuran enzim jantung serial : diagnosis retrospektif dari AMI bisa didasarkan atas enzIm-emzim jantung, dengan riwayat nyeri dada dan perubahan gelombang ST/T pada EKG. CK dapat meninggi pada pasca bedah karena kerusakan otot: ukur fraksi MB.

Infark miokard (MI)
Diagnosis
Ditegakkan hanya pada EKG dan perubahan enzim jantung. Perkembangan blok cabang berkas kiri pada EKG yang menyertai nyeri kardiak memiliki makna diagnostik sama seperti tampilan gelombang Q.

Manajemen
· Nyeri: atasi nyeri dengan morfin atau diamorfin iv dalam dosis yang bisa dinaikkan setiap 2,5 mg
· Aspirin: berikan aspirin 300 mg po atau nasogastrik (atau dengan supositoria jika tidak bisa oral.
· CCU: pindahkan pasien ke CCU atau ICU untuk pemantauan irama.
· Faktor pemicu: atasi setiap faktor yang mungkin telah mencetuskan infark: perdarahan, hipotensi, hipoksia, sepsis.
· Trombolisis dikontraindikasikan dalam 4-5 hari setelah pembedahan mayor. Pada bedah saraf lebih lama. Trombolisis pada pasien pasca bedah harus diberikan dengan persetujuan dokter bedah senior.
· Heparin umumnya aman pada pasca bedah dan bisa diberikan jika trombolisis dikontraindikasikan.
· Elektrolit : cek Mg2+, Ca2+ dan K+. Kelainan-kelainan elektrolit ini biasa didapatkan setelah operasi, dan merupakan predisposisi untuk aritmia.
· Nitrat : atasi nyeri yang berlanjut dengan nitrat iv.
· Rujukan ke ahli panyakit dalam: tim penyakit dalam harus mengambil alih masalah jantung. Jika pasien dirawat di bangsal bedah, beritahu spesialis jantung sehingga pasien bisa dirujuk untuk rehabilitasi jantung dan penyelidikan lanjut sesuai kebutuhan.
· Arteriografi koroner dengan stenting pembuluh darah yang tersumbat mungkin bisa dikerjakan di rumah sakit spesialis.

Angina
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan AMI telah disingkirkan, dan mungkin perubahan EKG selama nyeri.
Penyelidikan lanjut seperti treadmill testing dan arteriografi koroner umumnya tidak sesuai pada pasca bedah dini, namun angina tak-stabil dengan depresi ST yang mencolok dapat memberi firasat akan terjadi infark miokard, dan pasien-pasien ini mungkin membutuhkan arteriografi koroner selama masuk RS dengan indikasi operasi.

Manajemen
· Nitrat: jika nitrat sublingual tidak segera meredakan nyeri, mulai pemberian infus nitrat: isosorbid dinitrat 0,1% ( 1 mg/ml) harus diinfus dengan kecepatan awal 2 mg/jam, dan ditingkatkan secara progresif jika nyeri menetap. TD harus dipantau setiap 30 menit selama infus nitrat: kurangi dosis jika TD sistolik turun di bawah 100 mmHg. Mungkin ini harus dilakukan di bangsal bedah normal tetapi lebih aman jika pasien dipindah ke CCU/HDU/ICU.
· Opioid: atasi nyeri dengan morfin atau diamorfin iv dalam dosis yang ditingkatkan setiap 2,5 mg jika tidak mereda dengan nitrat.
· Aspirin: beri aspirin 300 mg po atau nasogastrik (atau dengan supositoria jika tidak bisa oral)
· Faktor pemicu: atasi setiap faktor yang mungkin telah mencetuskan angina: perdarahan, hipotensi, hipoksia, sepsis.
· Rujuk ke spesialis penyakit dalam

Emboli paru (PE)
Diagnosis
· Hipoksia: PE adalah penyebab paling mungkin dari hipoksia akut dengan x-foto toraks bersih pada pasien pasca bedah. Obstruksi jalan napas (asma atau emfisema) harus disingkirkan.
· EKG: inversi gelombang T lebih sering daripada pola ‘S1-Q3-T3’ . Biasa ada takikardia.
· X-foto toraks. Perubahan-perubahan kecil –efusi pleura kecil, atelektasis lazim didapat.
· Scan paru: PE minor lebih sukar didiagnosis. Scan isotop paru mungkin membantu, tetapi kecuali hasilnya normal scan isotop tidak bisa menyingkirkan keberadaan PE.
· Spiral CT : ini adalah test diagnostik terbaik untuk PE tetapi belum tersedia secara luas. Ini merupakan CT scan toraks yang bisa memvisualisasikan arteri pulmonalis lebih akurat dan lebih cepat daripada angiogram pulmonalis.
· Arteriografi pulmonalis: ini masih merupakan tes ‘standar emas’ untuk PE, namun memakan waktu dan merepotkan. Arteriografi pulmonalis jarang dibutuhkan pada pasien bedah.
· Pada banyak pasien, diagnosis PE ditegakkan dengan dasar probabilitas: risiko yang berkaitan dengan pembedahan, skenario klinik dan scan paru yang konsisten dengan diagnosis.

Manajemen
· O2 : berikan O2 aliran tinggi dengan masker. Pantau pulse oximetry.
· Cairan: awali resusitasi cairan seperti untuk pasien hipotensi jika TD rendah. Tekanan vena yang meninggi adalah khas PE mayor dan pada situasi ini tidak menunjukkan kelebihan cairan. Diuretik berbahaya.
· Antikoagulasi : awali heparin dan warfarin sesudahnya seperti untuk DVT (trombosis vena dalam). INR target adalah sama.
· Trombolisis bisa dipertimbangkan pada pasien yang tak stabil, namun risiko perdarahan mayor setelah pembedahan dapat menyingkirkannya kecuali pada keadaan khusus.
· Caval filter: Kadang-kadang antikoagulasi dikontraindikasi-kan pada pasien bedah. Jika pasien demikian terbukti memiliki tromboemboli, suatu filter sementara atau permanen dapat dimasukkan melalui kulit ke dalam vena cava inferior.
· Embolektomi emergensi: bisa dilakukan (jarang) untuk PE yang mengancam jiwa

Pneumonia
Diagnosis
Biasanya ditegakkan dengan x-foto toraks. Demam dan sputum purulen biasanya ada. Dapat dijumpai nyeri pleuritik. Hasil lab menunjukkan infeksi (WCC, CRP) akan meninggi.

Manajemen
Rujuk ke Bab 41.

Pneumotoraks
Nyeri dada (+ dispnea) pada pasien bedah dapat disebabkan oleh pneumotoraks spontan. Lebih sering pneumotoraks pada pasien bedah disebabkan trauma atau iatrogenik. X-foto toraks biasanya bersifat diagnostik, namun pneumotoraks kecil bisa luput kecuali jika diambil foto ketika ekspirasi. Manajemen dibahas pada Bab 41.

Ruptur esofagus
Diagnosis
Ditegakkan dengan x-foto toraks dan riwayat yang khas. X-foto toraks akan memperlihatkan cairan bersama gas. Udara sering terlihat di mediastinum dan jaringan leher. Bubur barium bersifat diagnostik.

Manajemen
· Puasakan pasien (nil-by mouth).
· Akses iv dan resusitasi cairan
· Antibiotik: gentamisin 3-5 mg/kg iv (dosis tunggal) plus metronidazol 500 mg iv setiap 8 jam plus cefotaxime 1 g iv setiap 8 jam.
· Pembedahan : manajemen bersama ahli endoskopi untuk dilatasi. Hindari pemasangan pipa nasogastrik.

Esofagitis dan spasme esofagus

Diagnosis
· Anamnesis: biasanya nyeri serupa dengan yang dialami sebelumnya
· Singkirkan sebab kardiak jika ragu.
· Ex juvantibus dengan antasid dikenal dan aman
· Dapat diperberat oleh AINS.

Manajemen
· Supresi asam : biasanya terbaik dengan penghambat pompa proton (misal lansoprazol 30 mg, omeprazol 20 mg). Jika puasa, pantoprazol 40 mg iv (lambat) atau ranitidin 50 mg tds iv.
· Prokinetik : metoklopramid atau cisapride (hindari bersama eritromisin) keduanya berguna.

Bacaan lanjut
Goldhaber SZ (1998). Pulmonary embolism. New England Journal of Medicine 339:93-104.

Cardiac Arrest

NTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)

Henti jantung terjadi bila pasien tiba-tiba pingsan dan tidak ada curah jantung. Akses cepat ke defibrilator dan basic life support memberi harapan pasien bertahan hidup. Henti jantung dapat terjadi tanpa fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, asistole atau disosiasi elektromekanik (juga dikenal sebagai PEA (pulseless electrical activity). Berbagai kondisi klinik bisa menjurus ke henti jantung. Sebagian di antaranya harus dideteksi sebelum terjadi henti jantung.

Henti jantung yang mengancam
Henti jantung dapat terjadi tanpa diantisipasi pada AMI, edema paru atau dengan penyakit jantung berat yang mendasari. Kebalikannya, henti jantung di bangsal bedah sering didahului oleh tanda-tanda peringatan seperti hipotensi, takikardia, nyeri dada, dispnea, demam, gelisah atau bingung. Hipoksemia, hipovolemia, dan sepsis bisa berlanjut ke henti jantung jika tidak didiagnosis dan dikoreksi dengan cepat. Jangan ragu meminta bantuan tim resusitasi atau tim ICU. CPR untuk pasien yang sepsis atau hipovolemia biasanya gagal.
Bila pasien diidentifikasi sebagai sakit berat dan memiliki risiko henti jantung, poin-poin berikut harus cepat dinilai:
· Oksigenasi: apakah jalan napas bersih dan apakah pasien bernapas cukup? Berikan O2 aliran tinggi dan dukungan ventilasi manual jika perlu. Pantau dengan pulse oximetry dan ukur gas darah. Lihat bagian tentang dispena akut dan gagal napas (Bab 41).
· Apakah pasien sadar?: apakah pasien dinarkosis atau oversedasi?
· Apakah pasien hipovolemik? Kebanyakan pasien hipotensi harus diberikan cairan sebagai bagian dari manajemen awal. Hanya jika pasien telah henti jantung cairan iv tidak efektif (bahkan dapat memperburuk edema paru), namun kecemasan ini jangan sampai menghindari cairan kepada banyak pasien hipotensi.
· Bingung atau tingkat kesadaran menurun harus dianggap sebagai tanda perburukan klinik yang bermakna dan penyebabnya harus segera dicari.
· Singkirkan sepsis. Takipnea atau kegaduhan mental (bingung) bisa merupakan tanda pertama septikemia pada pasien bedah. Periksa suhu badan. Ambil darah untuk biakan. Pikirkan masalah intraabdomen: kebocoran empedu, kebocoran anastomosis usus. Berikan antibiotik jika ragu.
· Periksa gangguan elektrolit termasuk asidosis metabolik.
· Pertimbangkan untuk memindahkan pasien ke ICU.
· Obati nyeri. Nyeri menyebabkan pelepasan adrenalin (epinefrin) dan meningkatkan risiko aritmia jantung.

CPR (cardiopulmonary resuscitation)
Bilamana terjadi henti jantung, tim resusitasi harus selalu dipanggil kecuali jika pasien ‘bukan untuk CPR’. Defibrilasi dini dan basic life support adalah yang terpenting.
Manajemen henti jantung dirinci pada buku ajar lain, namun protokol untuk basic dan advance life support diberikan pada Gambar 36.1 dan 36.2 pada akhir bab ini.

CPR pada pasien bedah
· CPR mempertahankan curah jantung yang rendah ke organ-organ vital bila dilakukan dengan baik. Ada kalanya, kompresi jantung dengan dada terbuka digunakan untuk pasien dengan PEA (pulseless electrical activity) setelah trauma tembus, setelah sternotomi atau selama pembedahan abdomen atau toraks.
· Pada fibrilasi ventrikel atau ‘takikardia ventrikel tanpa denyut’, dua kejutan pertama harus sebesar 200 J dan setelah itu 360 J. Saat durasi henti jantung meningkat, kemungkinan defibrilasi berhasil adalah kecil.
· Prognosis henti jantung paling baik pada pasien dengan henti jantung yang diketahui orang lain, dengan CPR oleh seseorang yang terlatih dalam teknik. Bila ada fibrilasi ventrikel dilakukan defibrilasi dini. Prognosis jelek adalah pasien asistole, penanganan terlambat, dan pasien dengan penyakit banyak organ.
· PEA juga memiliki prognosis jelek, kecuali jika penyebabnya cepat diidentifikasi dan diatasi. Jika mekanisme yang melandasi adalah hipovolemia, yang dikelola dengan agresif dan dikerjakan operasi, sebagian dari pasien-pasien ini akan selamat. Sebab-sebab lain dari PEA meliputi edema paru, infark miokard, tension pneumothorax, tamponade jantung, dan masalah elektrolit.
· Adrenalin (epinefrin)( 1 mg iv) selalu diberikan sepanjang CPR untuk mempertahankan tonus pembuluh darah dalam upaya mempertahankan sirkulasi otak selama resusitasi. Gunakan larutan 1:10.000 ( 1 mg/10 ml) intravena, walaupun dosis ganda bisa diberikan melalui pipa endotrakea jika vena tidak bisa diakses.
· NaHCO3 sebaiknya diberikan menurut panduan gas darah, namun biasanya dibutuhkan setelah 15 menit henti jantung dengan dosis 50 ml Bic Nat 8,4% harus diberikan lebih dini jika henti jantung disebabkan asidosis metabolik.
· Periksa latar belakang penyakit untuk mendiagnosis masalah yang melandasi dan membantu memutuskan apakah resusitasi perlu dilakukan berkepanjangan.
· Hentikan resusitasi jika pasien tidak memberi respon terhadap advanced life support. Walaupun setiap pasien berbeda, dalam praktek resusitasi dari fibrilasi ventrikel tidak mungkin berhasil setelah 15-20 menit CPR, atau dari asistole atau PEA setelah 10-15 menit CPR. Namun, pada kasus hipotermia atau overdosis obat anestesi lokal, nasihat ahli dari tim henti jantung atau tim ICU harus diperoleh jika diindikasikan resusitasi yang berkepanja-ngan.

Pernyataan “bukan untuk resusitasi’
Banyak pasien di bangsal tidak cocok untuk resusitasi karena prognosis secara keseluruhan buruk atau karena permintaan pasien. Bila terjadi ini harus dibahas dengan pasien dan/atau keluarganya dan ditulis dengan jelas pada kartu pasien sehingga tindakan resusitasi tidak dilakukan jika ada henti jantung.


Bacaan lanjut

1. Doyal L, Wilsher D (1993). Withholding cardiopulmonary resuscitation: proposals for formal guidelines. British Medical Journal 306:1593-6.
2. McQuillan P, Pilkington S, Allan A et al, (1998). Confidential inquiry into quality of care before admission to intensive care. British Medical Journal 316:1853-8.
3. O’Keefe S, Ebell MH (1994). Prediction of failure to survive following in-hospital cardiopulmonary resuscitation: comparison of two predictive instruments. Resuscitation 28:21-5.
4. Resuscitation Council (UK) (1998). Advanced life support course provider manual, 3rd edn.
5. Smith A, Wood J (1999). Can some in-hospital cardiopulmonary arrests be prevented? Resuscitation in press.
6. Stewart K (1995). Discussing cardiopulmonary resuscitation with patients and relatives. Postgraduate Medical Journal 71:585-9.

PENANGANAN NYERI AKUT

PENANGANAN NYERI AKUT


Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana:
· Nilai nyeri
· Atasi dengan obat dan teknik yang anda sudah terbiasa
· Nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi pengobatan jika perlu.
Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.

Prinsip umum
· Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.
· Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
· Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi pada berbagai pasien.
· Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh berbagai pasien.
· Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
· Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah.
· Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
· Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
· Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan anestesi lokal)

Penilaian nyeri, analgesia, dan sedasi
· Sistem skoring digunakan untuk menilai nyeri dan untuk mengukur efektivitas pengobatan. Skor nyeri bisa ditulis di kartu suhu atau pada kartu nyeri terpisah.
· Skala analogi visual (VAS) adalah garis 10 cm di mana ujung-ujungnya adalah 0 (tak ada nyeri) dan 10 (nyeri terburuk yang bisa dibayangkan). Pasien membubuhi tanda pada garis untuk mengungkapkan keparahan nyeri mereka. Teknik ini mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
· Verbal rating scale (VRS) lebih sederhana. Pasien ditanya apakah mereka tidak merasa nyeri, nyeri ringan, sedang atau berat dan diberi skor 0 untuk tidak nyeri, 1 untuk nyeri ringan, 2 untuk nyeri sedang, dan 3 untuk nyeri berat.
· Pasien harus dinilai setelah dibangunkan dengan lembut. Sedasi sebaiknya diberi skor sekaligus: 0 jika bangun, 1 jika mengantuk kadang-kadang, 2 jika kebanyakan tidur, 3 jika sukar dibangunkan.
· Kombinasi skor sedasi dan frekuensi napas bisa digunakan untuk mendiagnosis overdosis opioid.
· Frekuensi < 8/menit dengan skor sedasi 3 menunjukkan overdosis.
· Pernapasan lambat tanpa over-sedasi bisa diterima, tetapi memerlukan kewaspadaan.
· Naloxone intravena harus ditirasi dengan penambahan setiap 200 mg sampai over-sedasi memulih tanpa mengurangi efek analgesia. Naloxone mungkin bekerja lebih singkat daripada opioid, sehingga penilaian harus dilanjutkan karena sedasi bisa berulang.



Prinsip umum dari terapi obat
Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:
· Bisakan pasien minum analgesik oral?
· Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?
· Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
· Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Opioid
· Opioid lemah (kodein, dihidrokodein, dextropropxyphene) memiliki penggunaan terbatas. Sebaiknya obat-obat ini digunakan dalam kombinasi dengan parasetamol atau aspirin. Kodein adalah suatu prodrug dan relatif tidak aktif sebelum dimetabolisme menjadi morfin. Opioid lemah menyebabkan nausea dan konstipasi sesering opioid kuat tetapi manfaatnya tidak sebesar dari analgesia kuat.
· Opioid kuat (morfin, diamorfin, petidin, metadon, fentanil) adalah agonis murni, yang bekerja pada reseptor serupa. Semuanya memiliki efek samping serupa, antara lain mual, muntah, sedasi, gatal, motilitas usus berkurang, konstipasi dan depresi pernapasan.

Morfin
· Morfin adalah obat pilihan untuk analgesia pasca bedah, murah dan digunakan secara luas.
· Atasi nyeri berat akut atau pasca bedah dengan bolus iv 2-3 mg setiap 3-5 menit (1 mg bolus untuk usia lanjut dan lemah). Pasien harus diawasi ketat selama paling sedikit 30 menit sesudahnya.
· Dosis intramuskular adalah 7,5 mg selama 40-65 kg berat badan atau 10 mg untuk 65-100 kg. Lihat Gambar 14.1.
· Jarang-jarang morfin bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid, dan bronkospasme. Hindari penggunaannya pada pasien asma. Urtikaria sepanjang jalan infus sangat lazim dijumpai karena pelepasan histamin setempat (namun tidak mengindikasikan ‘alergi’).
· Gunakan morfin dengan hati-hati pada insufisiensi ginjal berat. Metabolit morfin 6-glukoronida bersifat aktif dan memiliki kerja lama. Dosis berulang menyebabkan akumulasi sehingga terjadi sedasi berlebihan dan depresi pernapasan tanpa efek analgesia.
· Morfin oral bisa digunakan jika penyerapan bisa dijamin. Dosis oral morfin yang dibutuhkan adalah kira-kira 3-5 kali dosis parenteral. Hati-hati dalam memberi morfin oral pada pasca bedah jika pada fase awal pengosongan lambung terlambat, overdosis bisa terjadi ketika pengosongan lambung normal kembali. Jangan gabung morfin dengan cara pemberian berbeda.
· Resepkan morfin oral setiap 4 jam secara reguler dengan dosis ‘prn’ tersedia di antara masing-masing dosis.
· Jika morfin oral dibutuhkan untuk beberapa hari lagi, maka gunakan sediaan lepas lambat (MST, MXL, Morcap). Semua sediaan lepas lambat tidaklah sama. Peralihan dari satu bentuk sediaan ke bentuk lain perlu hati-hati.

Diamorfin
· Tidak ada manfaat nyata melebihi morfin.
· Lebih larut-lemak dibanding morfin, 1,5-2 kali lebih kuat.
· Biasa digunakan pada perawatan paliatif karena bisa disediakan pada konsentrasi tinggi untuk infus subkutan.
· Berguna sebagai tambahan terhadap anestesi lokal pada injeksi atau infusi epidural.

Petidin
· Disebutkan lebih baik daripada morfin untuk nyeri kolik dan nyeri pankreas, namun tidak ada bukti untuk ini.
· Dosis 75-100 mg dan boleh ditingkatkan sampai 150 mg jika dibutuhkan.
· Kerja lebih singkat daripada morfin memiliki metabolit nor-petidin yang neurotoksik yang bisa berakumulasi pada pemakaian jangka panjang dan bisa menyebabkan kegaduhan mental, kedutan otot dan pada situasi ekstrem menyebabkan epilepsi grand mal.
· Bisa digunakan untuk pasien dengan alergi morfin atau asma yang bermakna.
· Berguna sebagai tambahan terhadap anestesi lokal pada injeksi atau infus epidural, atau untuk mengatasi menggigil hebat pasca operasi.

Metadon
· Digunakan terutama secara oral tetapi bisa juga im atau iv.
· Waktu-paruh bervariasi dengan risiko akumulasi cukup besar. Ini bisa terjadi dalam beberapa hari.
· Termasuk narkoba yang telah disalahgunakan, tetapi merupakan analgesik yang sangat berguna.
· Hanya boleh digunakan oleh mereka yang telah berpengalaman

Fentanil
· Opioid sangat kuat yang digunakan terutama pada anestesia.
· Berguna pada pompa PCA (patient controlled administr-ation) jika ada alergi terhadap morfin.
· Berguna sebagai tambahan ke anestesi lokal pada suntikan atau infus epidural.
· Tersedia dalam formulasi transdermal. Sediaan tempel (patch) kulit 25, 50, 75 m/jam, namun tidak terdaftar untuk nyeri pasca bedah. Obat perlu beberapa jam untuk mencapai dosis maksimum dan berjam-jam untuk menghilangnya efek setelah sediaan tempel dilepas.

Tramadol
· Bekerja sebagai agonis reseptor opioid. Juga memiliki kerja pada lintasan noradrenalin dan serotonergik.
· Bukan termasuk obat yang dikontrol (narkotik) namun efek sampingnya sama yakni mual dan muntah.
· Berguna pada nyeri ringan sampai sedang. Gunakan 50-100 mg setiap 4 jam, dosis maksimum 400 mg/24 jam.

Kelompok agonis parsial dan agonis/ antagonis
Agonis parsial dan agonis/antagonis, termasuk obat-obat seperti buprenorfin dan nalbuphine, memiliki keunggulan sedikit dibanding agonis murni sehingga tidak dianjurkan.

Cara pemberian opioid
Injeksi im
· Cara pemberian tradisional, sering dengan pola ‘pro re nata’ pada banyak kasus analgesia yang dicapai tidak adekuat.
· Analgesia intramuskular efektif jika diberikan teratur menurut algoritme yang terkait dengan waktu dosis terakhir, skor nyeri, skor sedasi, dan frekuensi napas. Lihat Gambar 14.1.

Injeksi bolus iv
· Menghasilkan analgesia tercepat, dan dosis ulangan bisa dititrasi sesuai efek analgesia yang dicapai.
· Dibutuhkan pengawasan ketat.

Infus iv
· Sering digunakan bila pasien tidak bisa menggunakan pompa PCA (lihat bawah).
· Waktu untuk mencapai kadar mantap dalam darah adalah 4-5 kali waktu paruh obat. Morfin memerlukan 10 jam untuk mencapai kadar puncak, sehingga ada bahaya komplikasi jika pengawasan perawat tidak adekuat.
· Tidak aman jika pengawasan tidak ketat.

Pemberian epidural
· Opioid memiliki potensi sekitar 10 kali lebih kuat bila diberikan epidural dibandingkan parenteral.
· Opioid larut-lemak (misal fentanil) memiliki efek segmental sedangkan opioid tidak larut lemak (misal morfin) memiliki efek tersebar (generalisata)
· Biasanya digunakan sebagai kombinasi dengan anestesi lokal untuk menghasilkan efek sinergistik.
· Bisa menyebabkan depresi pernapasan yang tertunda, namun ini akan memberi respons terhadap antagonis opioid, yakni naloxone (200 mg intravena, diulang seperlunya).






























Gambar 14.1. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1 nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan.
Morfin:berat 40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg
Naloxone:200 mg iv, sesuai kebutuhan

PCA (patient controlled administration)
Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung apda beberapa faktor:
· Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
· Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
· Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
· Dana : pompa infus PCA mahal.

Box 14.1 memberikan regimen PCA yang tipikal. Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu.

Box 14.1. Regimen PCA tipikal
Obat: morfin
Konsentrasi: 1 mg/ml
Dosis bolus: 1 mg
Waktu stop: 5 menit

Dosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila pasien bisa menentukan kebutuhan.
Waktu stop (lockout time): jumlah waktu di mana pasien akan mendapat hanya satu dosis dari pompa



Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus.

Obat anti-inflamasi non steroid (AINS)
· Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
· Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.
· Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.

Kontraindikasi AINS
· Riwayat tukak peptik
· Insufisiensi ginjal atau oliguria
· Hiperkalemia
· Transplantasi ginjal
· Antikoagulasi atau koagulopati lain
· Disfungsi hati berat
· Dehidrasi atau hipovolemia
· Terapi dengan frusemide
· Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada
· Pasien > 65 tahun
· Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah ginjal
· Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
· Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
· Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat.

Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.


Anestesi lokal
Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.

Komplikasi bisa terjadi:
· Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar.
· Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung.
· Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal. Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.

Infusi epidural dari obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal bisa berguna bila diberikan sendiri, tetapi lebih sering berupa campuran (misal bupivacaine 0,166% dan diamorfin 0,1-0,2 mg/ml). Obat-obat ini berkerja sinergi dalam kombinasi. Hipotensi dan depresi pernapasan mungkin terjadi: pasien harus dirawat di kamar dengan supervisi adekuat.
Manajemen teknik ini membutuhkan pengalaman. Analgesia yang tidak adekuat harus dirujuk ke spesialis anestesi yang bertugas.

Mengurangi risiko toksisitas anestesi lokal
· Tetapkan konsentrasi anestesi lokal yang dibutuhkan untuk mengerjakan blok. Hitung volume total suatu obat yang dibolehkan menurut Tabel 14.1
· Gunakan obat dengan toksisitas paling kecil.
· Gunakan dosis lebih rendah pada pasien rentan atau usia ekstrem.
· Selalu suntikkan obat perlahan-lahan (lebih lambat dari 10 ml/menit) dan aspirasi secara teratur untuk mendeteksi darah yang menandakan injeksi intravena.
· Injeksi dosis percobaan 2-3 ml anestesi lokal mengandung adrenalin 1:200.000 akan sering (tidak selalu) menyebabkan takikardia bermakna jika terjadi injeksi iv tanpa sengaja.
· Tambahkan adrenalin (epinefrin) untuk mengurangi kecepatan penyerapan. Ini mengurangi kadar darah maksimum sebesar kira-kira 50%. Gunakan adrenalin dengan konsentrasi 1:200.000 dengan dosis maksimum 200 mg (untuk ukuran dewasa rata-rata). Ambil adrenalin 1:1000 (1 mg/ml, atau 0,1 mg%) dan tambahkan 0,1 ml ke setiap 20 ml obat anestesi lokal. Lebih baik jika digunakan obat anestesi lokal yang sudah bercampur dengan adrenalin. Adrenalin tidak membuat perbedaan toksisitas obat anestesi lokal jika diinjeksikan ke dalam vena.

Tabel 14.1 Dosis maksimum aman dari anestesi lokalObat Maksimum untuk infiltrasi lokal Maksimum untuk anestesi pleksus
Lidocaine (lignocaine) 3 mg/kg 4 mg/kg
Lidocaine (lignocaine) dengan adrenalin (epinefrin) 5 mg/kg 7 mg/kg
Bupivacaine 1,5 mg/kg 2 mg/kg
Bupivacaine dengan adrenalin(epinefrin) 2 mg/kg 3,5 mg/kg
Prilocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
Prilocaine dengan adrenalin(epinefrin) 5 mg/kg 8 mg/kg


Entonox
Gas mengandung nitrous oxide (N2O) dan 50% O2; analgesik kuat yang tergantung pada pemberian oleh pasien sendiri. Bekerja cepat dan singkat bila pemberian dihentikan. Merupakan obat untuk nyeri yang berlangsung singkat.
· Pemberian sendiri melindungi pasien dari overdosis- bila pasien menjadi mengantuk, masker atau mouthpiece lepas.
· Entonox bisa digunakan untuk prosedur seperti peng-gantian pembalut luka, melepas drain dan jahitan, traksi gips, dll.
· Kontraindikasi mencakup pneumotoraks, mual karena dekompresi, intoksikasi, cidera maksilofasial, cidera kepala, emfisema berat, dan obstruksi usus.
· Keberhasilan tergantung pada penyuluhan pasien dan staf dan tersedianya peralatan.

Tim nyeri akut
Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan dan informasi bagi staf bedah yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi, dengan perawat spesialis yang menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika apoteker dan dokter bedah terlibat, perbaikan dalam praktek dan penerapan perubahan lebih mudah.
Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar dalam manajemen nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:
· Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat
· Memberikan informasi kepada pasien
· Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan manajemen nyeri akut
· Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek manajemen nyeri.

Kesimpulan
Untuk memberikan analgesia yang baik anda perlu mengetahui cara menilai nyeri, obat dan teknik yang tersedia, efek-efek obat (diinginkan atau tak-diinginkan), keterbatasan anda, dan di mana minta bantuan jika keadaan tidak berlangung baik.

Bacaan lanjut
1. Gould TH, Crosby DL, Harmer M et al.(1992). Policy for controlling pain after surgery: effect of sequential changes in management. British Medical Journal 305:1187-93.
2. Harmer M, Davies KA (1998). The effect of education, assessment and a standardized prescription on postoperative pain management. Anaesthesia 53:424-30.
3. Report of the Working Party on Commission on the Provision of Surgical Services (1990). Pain after surgery. Royal College of Surgeons of England and the College of Anaesthetists.

Balance Cairane

BALANCE CAIRAN (IMBANG CAIRAN)

Imbang cairan perlu diperhatikan seksama pada pasien bedah. Beberapa faktor menentukan kebutuhan air dan elektrolit.
· Rasa haus tidak bisa diandalkan sebagai indikator untuk regulasi cairan tubuh pada pasien puasa total (nil-by-mouth) setelah operasi mayor. Pasien tergantung pada cairan iv. untuk mempertahankan imbang cairan.
· Perpindahan cairan (fluid shift) terjadi karena sekuestrasi cairan di lokasi operasi atau tempat-tempat lain misal abdomen (ileus). Kehilangan yang tidak terlihat ini lazim dikenal sebagai ‘rongga ketiga’ dan terdiri terutama atas cairan ekstraseluler. Pada situasi lain, kehilangan plasma terjadi akibat kebocoran membran kapiler.
· Kehilangan darah biasanya mudah ditaksir di kamar operasi, tetapi bisa tersembunyi pada fase pra dan pasca operasi. Penaksiran indirek dari kehilangan darah bisa tidak akurat.
· Respons stres terhadap pembedahan atau penyakit kritis menyebabkan hipersekresi aldosteron dan ADH serta peningkatan umum dari aktivitas simpatis. Ini mengakibat-kan retensi natrium dan air.
· Asites dan efusi pleura bisa terjadi

Prinsip umum terapi cairan iv.
Aspek terpenting dari imbang cairan adalah mempertahankan volume sirkulasi, dan mengusahakan aliran darah dan fungsi jaringan yang adekuat. Catatan yang akurat dari imbang cairan sangat penting. Terapi cairan iv. perlu dipertimbangkan sebagai:
· Cairan rumatan untuk menggantikan cairan yang pada keadaan normal dikonsumsi per oral (minum, makan). Cairan ini menggantikan kehilangan insensible, urin dan feses. Kebutuhan bervariasi tetapi cara menaksir kebutuhan rumatan diperlihatkan dalam Box 16.1. Bila mungkin gunakan botol infus yang sudah berisi K+ di dalamnya. Ini jauh lebih baik daripada mengoplos/ menambah K+ di bangsal. Larutan standar mengandung 20 atau 40 mmol K+/L (0,15 atau 0,3%).

Box 16.1. Perkiraan kebutuhan rumatan pada dewasa
Air: 1,5 ml/kg/jam (taksir massa tubuh non-lemak untuk mencegah kelebihan air pada pasien gemuk)
Na+ : 1-2 mmol/kg/hari
K+ : 1 mmol/kg/hari

Regimen yang pas untuk dewasa dengan BB 70 kg:
1000 ml NaCl 0,9% + KCl 20-40 mmol/L
1000 ml dekstrosa 5% + KCl 20-40 mmol/L
500 ml dekstrosa 5%
Tambahkan 10% setiap derajat di atas 37 oC, juga bila keringat berlebihan atau udara lingkungan panas.
Kurangi menjadi 1 ml/kg/jam jika cairan dibatasi (trauma kepala, gagal jantung, dst).
Suplemen K+ tidak perlu dalam 24 jam pertama pasca bedah, kecuali dijumpai hipokalemia preoperatif.


· Cairan pengganti menggantikan semua kehilangan abnormal, baik yang terlihat atau tidak terlihat. Ini mencakup darah, plasma, kehilangan rongga ketiga, output dari drain, fistula atau pipa nasogastrik dan diare. Panduan untuk pergantian cairan diperlihatkan pada Tabel 16.1. Dalam menulis regimen cairan, taksir dulu kebutuhan rumatan dan pengganti kemudian resepkan dalam kartu imbang cairan. Jika ada kemungkinan pasien membutuh-kan modifikasi kemudian, jangan resepkan cairan dalam jumlah besar.

Tabel 16.1. Kehilangan cairan dan pilihan penganti yang sesuai pada pasien-pasien bedahKehilangan Kandungan
Rata-rata (mmol/L) Cairan pengganti yang sesuai


Na+
K+

Darah 140 4 Hartmann(RL)/NaCl 0,9%/koloid/produk darah
Plasma 140 4 Hartmann(RL)/ NaCl 0,9%/ koloid
Rongga ketiga 140 4 Hartmann(RL)/ NaCl 0,9%
Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + D5+ KCl 20 mEq/L
Sal cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% (periksa K+ dengan teratur)
Diare 120 25 NaCl 0,9%/KCl 20 mEq/L


Manajemen Perioperatif
Bedah elektif
Pasien dibolehkan minum air putih sampai 2 jam sebelum operasi (cek protokol setempat). Pasien dengan gagal ginjal kronik atau ikterus obstruksi memerlukan cairan preoperatif untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan jumlah urin pada periode perioperatif—lihat bagian spesifik dari buku ini.
Pasien tidak boleh makan paling kurang 6 jam sebelum operasi.
· Bedah minor: pasien biasanya boleh minum jika kesadaran baik. Petugas anestesi mungkin meminta minum ditunda jika saluran napas atas telah disemprot dengan anestesi lokal.
· Bedah intermediate: Berikan cairan iv. jika kehilangan darah > 250 ml, atau jika asupan cairan cenderung tertunda lebih dari 8 jam pada periode pasca bedah.
· Bedah mayor: Cairan iv. rutin digunakan selama operasi dan sering beberapa hari sesudahnya.
Petugas anestesi biasanya memantau imbang cairan peri-operatif dan meresepkan larutan infus pasca operasi. Berbagai pasien dengan kondisi medis berbeda dan jenis operasi berbeda mungkin membutuhkan peresepan berbeda. Beberapa operasi, sebagai contoh penggantian total sendi pinggul dan sendi lutut, mungkin diikuti perdarahan banyak selama operasi. Regimen cairan perlu dievaluasi sering pada pasien-pasien ini.
Setelah operasi ekstensif (misal, esofagektomi, aneurisma abdomen, torakotomi) kebutuhan cairan sukar diprediksi kare-na pasien membutuhkan volume besar untuk mempertahankan sirkulasi. Supervisi dan pemantauan klinik ketat dari pemberian cairan dibutuhkan. Pemantauan tekanan vena sentral (CVP) lazim dikerjakan jika penilaian kebutuhan cairan ternyata sukar.
Pada kebanyakan pasien, imbang cairan bisa dikelola dengan baik dengan memperhatikan pokok-pokok berikut. Trend lebih penting daripada observasi tunggal.

Box 16.2. Menilai dan memantau imbang cairan pada pasien bedah.
Pantau tanda klinik
Nadi/TD/perfusi perifer
Jumlah urin (> 0,5 ml/kg/jam)
CVP (8-10 cmH2O atau 5-8 mmHg)

Periksa kehilangan Kartu Cairan (urin, drain, aspirat, dst)




Pembedahan emergensi
· Pasien dengan kelainan penyakit dalam dan masalah metabolik yang akan dibedah tanpa persiapan sering merupakan kasus sulit dipandang dari segi terapi cairannya.
· Setiap pasien emergensi memiliki kondisi berbeda dan perlu penanganan yanhg berbeda pula!
Banyak pasien membutuhkan resusitasi karena dehidrasi dan hipovolemia sebelum masuk kamar operasi. Kebanyakan dari mereka telah mengalami ketidakcukupan asupan air selama beberapa hari, dan telah terjadi sekuestrasi cairan sehingga keadaan bertambah buruk. Di samping itu kelainan elektrolit sering menyertai. Deplesi cairan bisa berat dan memerlukan beberapa jam untuk koreksi. Prinsipnya adalah memulihkan volume sirkulasi dengan cepat, disusul dengan penggantian defisit lain lebih perlahan-lahan.

Manajemen perdarahan aktif sering membutuhkan operasi cito.
Dalam merencanakan regimen terapi, taksir derajat hipovole-mia dan cepat berikan cairan iv. sebagai pengganti. Jika pasien sedang dalam perjalanan ke kamar operasi, bahas dengan petugas anestesi sesegara mungkin untuk rencana yang lebih komprehensif.
Dalam resusitasi pasien hipovolemik, ukur hemoglobin secara teratur.

Permasalahan dengan imbang cairan
· Pasien membutuhkan lebih banyak cairan daripada yang diharapkan untuk mempertahankan stabilitas tekanan darah. Singkirkan perdarahan operasi. Jika setelah operasi mayor, periksa CVP. Setelah bedah mayor, situasi ini biasanya disebabkan cairan tidak bertahan dalam rongga vaskular. Pemantauan pasien sebaiknya di HDU/ICU. Sepsis dini biasanya tampil sebagai hipotensi yang resisten terhadap cairan iv.
· Hiponatremia. Jika Na+ tidak abnormal pada periode pra bedah, hiponatremia biasa disebabkan kelebihan air (kelebihan dekstrosa 5% atau TUR syndrome).
· Edema mencolok tetapi juga hipovolemia. Pasien demikian tidak bisa mempertahankan cairan dalam rongga vaskular. Ini mungkin disebabkan hipoalbuminemia atau kebocoran kapiler, misal sepsis. Pasien membutuhkan cairan untuk mempertahankan volume sirkulasi. Edema sukar membaik karena cairan sering tersekuestrasi di perifer, dan baru dimobilisasi setelah pasien membaik. Penggunaan larutan albumin konsentrat dengan diuretik belum dibuktikan memperbaiki keadaan dan sebaiknya dihindarkan. Gagal jantung (khususnya sisi kanan) memperburuk keadaan dan diagnosis harus dipikirkan.
· Regimen apa yang harus digunakan pada pasien dengan gagal jantung?. Berikan cairan rumatan dalam jumlah terbatas, dan cairan pengganti sekedar mengganti kehilangan. Jumlah urin dan CVP dipantau pada pasien bedah mayor. Walaupun pasien ini memiliki risiko perburukan gagal jantung jika pemberian cairan terlalu agresif, keadaan juga memburuk jika mereka kekurangan cairan. Pertimbangkan perawatan di HDU/ICU di mana pemasangan kateter pulmonalis akan membantu.
Pasien poliuria. Ini adalah hal biasa jika terjadi 2-3 hari setelah operasi, yakni saat pasien memobilisasi cairan yang sebelumnya tersekuestrasi dalam jaringan. Ini ditandai dengan kreatinin dan N+ serum normal, dan tidak dibutuhkan terapi. Khas, poliuria akan mereda setelah bebarapa jam. Namun demikian, kondisi lain juga bisa ada dengan gejala seperti ini (diabetes melitus, diabetes insipidus, gagal ginjal non-oligurik), dan perlu disingkirkan.

Intubasi Endo Trachea

INTUBASI TRAKEA


PENDAHULUAN

Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. (Anonim, 1989) Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan melakukan tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasa kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan terganggunya jalannya acara operasi. (Anonim, 1986).
Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton pada tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-angsur cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya tindakan bedah, yang lebih luas, mudah serta manusiawi. (Anonim, 1986).
Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain :
1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses
pembedahan atau prosedur medik lain.
2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap terjaga.
3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah dapat melakukan tugasnya dengan mudah dan efektif.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas.

Anatomi - Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas.
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang. Pada pembahasan tentang anatomi dan fisiologi ini, penyusun akan menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian naso faring dan akan lebih ditekankan lagi pada bagian laring. (William, 1995 : 1630).

Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas, Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Hal ini merupakan proses pertukaran gas yang penting. Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.


Gambar 1.: Anatomi Pernafasan

FISIOLOGI RESPIRASI
Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting. Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Respirasi adalah pertukaran gas-gas antara organism hidup dan lingkungan sekitarnya.Pada manusia dikenal dua macam respirasi yaitu eksternal dan internal.
Respirasi eksternal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan udara sekitarnya. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu :
1.Ventilasi:proses masuk udara sekitar dan pembagian udara tersebut ke alveoli
2.Distribusi :distribusi dan percampuran molekul-molekul gas intrapulmoner
3.Difusi : masuknya gas-gas menembus selaput alveolo-kapiler
4.Perfusi : pengambilkan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang adekuat.
Respirasi internal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu :
1.Efisiensi kardiosirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen
2.Distribusi kapiler
3.Difusi,perjalanan gas ke ruang interstitial dan menembus dinding sel
4.Metabolisme sel yang melibatkan enzim.
Gambar.2. : Sistem Respirasi

INTUBASI ENDOTRAKHEAL
A. Definisi
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002).
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.

C. Persiapan pasien
• Beritahukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
• Mintakan persetujuan keluarga / informed consent
• Berikan support mental
• Hisap cairan / sisa makanan dari naso gastric tube.
• Yakinkan pasien terpasang IV line dan infus menetes dengan lancar

D. Alat-alat yang dipergunakan
Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh). à dewasa.
- Blade lurus. (blade Magill) bayi dan anak-anak.
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :


Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
Pipa orofaring atau nasofaring. à mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
Plester à memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
Stilet atau forsep intubasi. (McGill) à mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
Alat pengisap atau suction.

Gambar 3. Persiapan alat-alat
.
E. Persiapan obat-obatan
Obat-obatan untuk intubasi
• Sedasi
- Pentothal 25 mg / cc dosis 4-5 mg/kgbb
- Dormicum 1 mg / cc dosis 0,6 mg/kgbb
- Diprivan 10 mg/cc 1-2 mg/kgbb
• Muscle relaksan
- Succynilcholin 20 mg / cc dosis 1-2 mg/kgbb
- Pavulon 0,15 mg/kgbb
- Tracrium 0,5-0,6 mg/kgbb
- Norcuron 0,1 mg/kgbb
• Obat-obatan emergency (troley emergency)
- Sulfas Atropine
- Epedrine
- Adrenalin / Epinephrin
- Lidocain 2%



F. Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
Posisi Untuk Intubasi


Ganmbar.4 : Posisi Intubasi

G. Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun
2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen
melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b.Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

H. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
h. Fraktur servical
i. Rahang bawah kecil
j. Osteoarthritis temporo mandibula joint
k.Trismus.
l. Ada masa di pharing dan laring

G. Kegagalan intubasi
Hal yang perlu dilakukan apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah mengunakan alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask airway (LMA) atau sungkup laring. Selain itu pada keadaan yang sangat gawat, tindakan krikotiroidotomi dengan menggunakan jarum yang besar dapat dilakukan 4





Gambar 5. Penampakan faring posterior pada tes Mallampati.

Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas. Gambaran standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984):
1. Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat
2. Grade 2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat
3. Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4. Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat



Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial
dan malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.

C. Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.
Anonim, (1986), Kesimpulan Kuliah Anestesiologi, edisi pertama, Aksara
Medisina, Jakarta.

Prosedur Tindakan Intubasi.
A. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus)à kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
B. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
C. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan bentuk huruf V.
D. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
E. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
F. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.

Gambar 6. Correct (endotracheal) vs. Incorrect (Esophageal) Intubation
Tanda-tanda ETT
Dada mengembang
Terdapat embun di ET
Kemballinya bellow baik
Auskultasi di lapang paru +
Auskultasi di epigastrium –

Laryngeal Mask Airway (LMA)
Apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah menggunakan alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask airway (LMA) atau sungkup laring.
Laryngeal mask airway mempunyai beberapa keuntungan dbandingkan dengan Endotrakeal tube. pemasangan tidak memerlukan laringoskop, tidak memerlukan pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah jika dibandingkan intubasi endotrakeal



Tabel.1 Keuntungan dan kerugian LMA dibandingkan intubasi ET dan sungkup muka.






Tabel.2 Karakteristik dari laryngeal mask airway
Macam – macam bentuk LMA,antara lain ;


1 2 3 4 5
Gambar.7 macam-macam laryngeal mask airway
Keterangan ;
LMA ProSeal
LMA Flexible
LMA Ctrach
LMA Fastrach
LMA Klasik
Indikasi penggunaan LMA
Yang menjadi indikasi untuk menggunakan LMA antara lain sebagai berikut :
1. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa penggunaan sungkup muka.
2. Untuk menghindari penggunaan ET/melakukan intubasi endotrakeal
3. selama ventilasi spontan.
4. Pada kasus-kasus kesulitan intubasi.
5. Untuk memasukkan ET ke dalam trakea melalui alat intubating LMA.

Kontraindikasi penggunaan LMA
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang merupakan kontraindikasi untuk menggunakan LMA, yaitu :
1. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut > 1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe rheumatoid arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan kesulitan memasukkan LMA.
2. Kelainan didaerah faring (abses, hematom).
3. Obstruksi jalan nafas pada atau dibawah laring.
Pasien dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan lambatnya
pengosongan lambung.
4. Meningkatnya resiko regurgitasi (hernia hiatus, ileus intestinal).
5. Ventilasi satu paru.
6. Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kaf dari LMA.

EKSTUBASI
Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi(6)
Tujuan Ekstubasi
1. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma.
2. Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi
Syarat Ekstubasi
insufisiensi nafas (-)
hipoksia (-)
hiperkarbia (-)
kelainan asam basa (-)
gangguan sirkulasi (TD turun, perdarahan) (-)
pasien sadar penuh
mampu bernafas bila diperintah
kekuatan otot sudah pulih
tidak ada distensi lambung
Kriteria Ekstubasi
Ekstubasi yang berhasil bila
1. Vital capacity 10 – 15 ml/kg BB
2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
3. PaO2 diatas 80 mm Hg
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil
5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
6. reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh

Pelaksanaan Ekstubasi
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring
Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spasme laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek jalan sudah positif.
Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 – 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi
Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran, kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral.
Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi.
Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga adequate.

Pengisapan Trakhea
Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi.
Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-paruyang menyebabkan penutupan “small air way” kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara :
1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.
2. Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea.
3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.
4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara manual untuk mengembangkan alveoli kembali.
Penyulit Ekstubasi
Hal-hal yang dapat terjadi setelah sektubasi :
1. Spasme laring
2. Aspirasi
3. Edema laring akut karena trauma selam ekstubasi
Penyulit lanjut setelah dilakukan ekstubasi :
1. Sakit tenggorokan
2. Stenosis trachea dan trakheomolasia
3. Radang membran laring dan ulserasi
4. Paralisis dan granuloma pita suara
5. Luka pada sarap lidah.
. Komplikasi setelah ekstubasi.
1. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2. Gangguan refleks berupa spasme laring.


KESIMPULAN
Penggunaan intubasi endotrakeal pada anestesi umum adalah penting, mengingat perlu tetap dipeliharanya pernapasan yang adekuat. Pemasangan intubasi harus mengikuti prosedur yang baik agar tujuan dari penggunaannya dapat tercapai tanpa timbul efek samping.
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intubasi endotrakheal adalah suatu tindakan pembebasan jalan nafas (airway) dengan cara memasukkan selang ETT ke trakhea dengan tujuan pemberian oksigen dan lain-lain. Sebelum melakukan prosedur intubasi endotrakheal,kita harus melakukan persiapan pasien dan keluarga (informed consent),persiapan obat-obatan(obat emergency,induksi,pelumpuh otot), dan persiapan alat-alat (Ambu bag, sungkup oksigen,laringoscop handle dan blade,mesin suction dan suction catheter,oropharingeal airway ,endotracheal tubes sesuai ukuran pasien dan stylet,plester dan gunting,spuit 10 cc,xylocaine jell,stetoskop,serta hand scoon.
Indikasi intubasi endotrakheal antara lain untuk menjamin oksigenasi yang adekuat (terutama pada orang dengan penurunan kesadaran dan obstruksi saluran pernafasan),perlindungan saluran pernapasan dari aspirasi lambung dan regurgitasi,serta pada prosedur bedah yang melibatkan kepala dan leher / posisi tengkurap yang menghalangi jalan nafas.

Setelah dilakukannya intubasi perlu dilakukannya ekstubasi, Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma dan untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi.

DAFTAR PUSTAKA

Protap pemasangan ETT (Endotrakeal tube) available from: http://www.scribd.com/doc/58779525/17/Pengertian-Intubasi/ Diunduh pada tanggal 3 November 2011.
Putz R,Pabst R.Anatomy. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jakarta:EGC;2007
3. Lauralee Sherwood,Sistem Pernapasan.Fisiologi manusia.Jakarta : EGC ; 2001 ; 13 : 410-448.
4. Anastesi adalah seni available from: http://www.scribd.com/doc/51439743/menguak-misteri-kamar-bius/ Diunduh tanggal 3 november 2011.
5. Kriteria intubasi. Available from : http://www.scribd.com/doc/55253315/kriteria-intubasi-ekstubasi/ Diunduh pada tanggal 3 November 2011.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 2:3-45
Intubasi Endotrakeal. Availeble from : http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-endotrakeal.html/ Diunduh tanggal 3 November 2011.
8. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com
9. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id

Intubasi ETT

Intubasi ETT

BAB I

PENDAHULUAN


A.Latar Belakang.
Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal kedalam trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.


B.Tujuan Penulisan
1.Tujuan penulisan secara umum agar pasein dengan intubasi ETT ini dapat di ketahui tidak hanya oleh mahasiswa melainkan masyarajat umumnya.
2.Tujuan penulisan khusus dari makalah ini agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang intubasi ETT.


C.Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini membahas tentang pengertian, tujuan, indikasi, jenis intubasi, komplikasi, persiapan alat dan pasien, prosedur dan tindak lanjut pada pasien yang terpasang ETT.


D.Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode penulisan melalui studi literature dan metode diskritif dari keperpustakan dalam proses penyusunan makalah ini.
E.Sistematika Penulisan


BAB I : pendahuluan terdiri atas latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode, sistematika penulisan.


BAB II : Tinjauan teoritis terdiri atas pengertian, tujuan, indikasi, jenis intubasi, komplikasi, persiapan pasien dan alat, prosedur, perawatan intubasi dan hal-hal yang harus didokumentasikan.


BAB III : Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.


DAFTAR PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.DEFINISI.
Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal kedalam trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
B.TUJUAN
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
C.INDIKASI
a.Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
b.Pasien memerlukan bantuan nafas dengan respirator
c.Menjaga jalan nafas tetap bebas
d.Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung, tenggorokan, operasi abdominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy.
e.Terdapat banyak sputum ( pasien tidak mengeluarkan sendiri )
D.JENIS INTUBASI
a.Intubasi oral
-Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil
-Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
b.Intubasi nasal
-Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada pasien sadar, tidak akan tergigit
-Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit, dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi ( sinusitis )
E.KOMPLIKASI
a.Ringan
Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah, aspirasi, gigi copot/ rusak.
b.Serius
Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan hidung, fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi dysponia dan dyspagia, bradi kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.
Penyulit :
a.Leher pendek
b.Fraktur servical
c.Rahang bawah kecil
d.Osteoarthritis temporo mandibula joint
e.Trismus
f.Ada masa difaring dan laring

F.PERSIAPAN PASIEN DAN ALAT
1.Persiapan pasien.
a.Beritaukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
b.Minta persetujuan keluarga/ informed consent
c.Berikan support mental
d.Hisap cairan atau sisa makanan dari naso gastric tube
e.Yakinkan pasien terpasang IV line dan infuse menetes dengan lancar
2.Persiapan alat.
a.Bag and mask + slang 02 dan 02
b.Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu harus menyala dengan terang
c.Alat-alat untuk suction ( yakinkan berfungsi dengan baik )
d.Xillocain jelli/ xyllocain spraydan ky jelli
e.Naso/ orotracheal tube sesuai ukuran pasien
f.Laki-laki dewasa no 7, 7.5, 8
g.Perempuan dewasa no 6.5, 7, 7.5
h.Anak-anak usia ( dalam tahun ) + 4 dibagi 4
i.Konektor yang cocok dengan tracheal tube yang disiapkan
j.Stilet/ mandarin
k.Magyll forcep
l.Oropharingeal tube ( mayo tube )
m.Stethoscope
n.Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
o.Flester untuk fiksasi
p.Gunting bantal kecil setinggi 12 cm

G.PROSEDUR
a.Mencuci tangan
b.Posisi pasien terlentang
c.Kepala diganjal bantal kecil setinggi 12 cm
d.Pilih ukuran pipa endotraceal yang akan digunakan
e.Periksa balon pipa/ cuff ETT
f.Pasang blade yang sesuai
g.Oksigenasi dengan bag dan mask/ ambil bag dengan O2 100%
h.Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaxan
i.Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis
j.Dorong blade sampai pangkal epiglottis
k.Lakukan pengisapan lender bila banyak secret
l.Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak perlu dilakukan )
m.Masukan endotraceal tube yang sebelumnya sudah diberi jelli
n.Cekapakah endotraceal sudah benar posisinya
o.Isi cuff dengan udara, sampai kebocoran mulai tidak terdengar
p.Lakukan fiksasi dengan plester
q.Foto thorak

H.PERAWATAN INTUBASI
a.Fiksasi harus baik
b.Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif
c.Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien
d.Jaga kebersihan mulut dan hidung
e.Jaga patensi jalan nafas
f.Humidifikasi yang adekuat
g.Pantau tekanan balon
h.Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru
i.Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam
j.Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender
k.Yakinkan bahwa posisi konektor dalam posisi baik
l.Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan
m.Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu
n.Observasi terjadinya empisema kutis
o.Air dalam water trap harus sering terbuang
p.Pipa endotraceal tube ditandai diujung mulut/ hidung

I.HAL-HAL YANG HARUS DIDOKUMENTASIKAN
a.Tanggal pemasangan, siapa yang memasang
b.No OTT/ ETT
c.Jumlah udara yang dimasukan pada balon
d.Batas masuknya NTT/ OTT
e.Obat-obat yang diberikan
f.Respon pasien/ kesulitan yang terjadi

BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Intubasi endotrakheal adalah tindakan untuk memasukan pipa endostracheal kedalam trachea. Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator )memungkinkan pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.
B.SARAN
Saran dari beberapa kesimpulan diatas dengan melaksanakan pada klien dengan intubasi ETT, penulis menganggap perlu adanya sumbangan saran untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan ,adapun saran sebagai berikut:Untuk mahasiswa diharapkan lebih memahami tentang intubasi ETT sehinga dalam melakukkan asuhan keperawatan lebih komperhensif.Untuk perawat diharapkan untuk meningkatkan konsep dengan cara diskusi, seminar dan pengadan buku-buku (perpustakan kecil) yang berkaitan dengan masalah-masalah intubasi ETT sehinga dalam melakukan proses keperawatan konseptual.

Pemasangan ETT

Pemasangan Endo Trakhea Tube (intubasi) 


Tujuan :
1. menjamin jalan nafas dan memudahkan ventilasi
2. dalam anestesia
3. pasien i c u
4. dalam rjp (resusitasi jantung paru)

Cara intubasi :
1. Oro trakhea
2. Naso trakhea
3. Dengan anestesia -àanestesia ringan
4. Tanpa anestesia -à pasien sadar, pasien tidak sadar

Alat-alat yang diperlukan :
1. pipa endo --- trakhea
2. laringoskop + blade
3. stylet
4. anestetika topikal (“spray”)
5. alat-alat dan obat resusitasi
6. asisten

Pipa endo – trakhea
Bahan : karet, selastik, pvc, dengan/ tanpa balon (“cuff”)
Ukuran : int diameter (m.m) 3-10
Anak : umur (th) + 4,5

Laringoskop
Oro – trakhea >> 12 + umur (th) = 8 cm

Naso -- trakhea >> 12 + umur (th) = 8 cm

Teknik intubasi
1. Chek semua alat jangan tergantung pada orang lain
2. sebaiknya ada asisten
3. pasien tidur terlentang kepala sedikit ditinggikan dengan mengganjal acciput dengan bantal tipis
4. leher fieksi pada kepala hyperekstensi agar daun lazingeskop satu garis dengan trakhea
5. Pro oksigenasi dengan o2 100% selama 2-3 menit

Masukan laringoskop dengan membuka mulut
1. dari sudut kanan mulut
2. lidah dorong ke kiri
3. blade ke tengah
4. blade dimasukan secara halus dan dorong kedepan
5. hati-hati jangan melukai bibir dan gigi
6. lihat mulut valvula, farings dan ediglotis
7. perhatikan aritenoid dan garis tengah kemudian pita suara
8. Masukan pipa endo – trakhea secara
9. Halus -- chek masuk ke paru kiri/kanan
10. kembangkan balon (“cuff”)
11. fiksasi


Faktor penyulit intubasi
1. anatomi : leher pendek, mulut sempit
2. Kongenital : mikrognathi, palatoschizis dll
3. Neoplasma : papiloma, struma
4. Endokrin : obesitas, struma
5. Trauma

Setelah intubasi
1. Sumbatan jalan nafas: pipa tergigit, pipa tertekuk, pipa tersumbat
2. Rupter trakhea
3. Aspirasi isi lambung
4. Pipa salah masuk

Pasca intubasi
1. Kolap trakhea
2. Aspirasi isi lambung
3. Obstruksi jalan nafas
4. Edema glotis
5. Paralisis pita suara
6. Fibrosis larings, trakhea
7. Infeksi

Efek patofisiologi pada intubasi
1. Kardid vaskuler : distrithmia, tensi
2. Systim respirasi : spasma larings, spasma bronchus, hipoksia hiper karbia
3. Tekanan intra kranial
4. Tekanan intra okuler
5. Regurgitas : aspirasi
6. Lain-lain : nyeri otot, hiper pireksia

Komplikasi pada saat intubasi
1. Trauma : bibir, gigi, lidah dll
2. Aspirasi : isi lambung, benda asing
3. Pipas salah masuk >> ke esofagus
4. Pipa masuk bronkhus
5. Hipoksia -- hiperkarbia